“Apalah arti sebuah nama.” Adalah sebuah kalimat dari karya sastrawan kesohor Inggris William Shakespeares. Lewat mulut tokoh Julliet dalam naskah bertajuk Romie and Jully itu, kalimat tersebut melegenda.
Lantas apa hubungannya pula dengan tradisi yang dipercayai warga Tionghoa? Ada banyak tradisi dalam warga Tionghoa itu, mulai dari shio, nama, marga sampai hiraki yang satu sama lain memiliki sinergi.
Mengenal tradisi yang berlaku dalam warga Tionghoa ada salah satu yang disebut Cap Ji Shio (identitas sebuah nama, red). Orang Tionghoa dalam perhitungan waktu, disamping melalui tahun, bulan, dan hari setiap siklus 12 tahun diberi nama-nama setiap tahun dengan memakai nama binatang. Urutannya adalah tikus, kerbau, macan, kelinci, naga, ular, kuda, kambing, monyet, ayam, anjing, dan babi.
Jadi orang yang lahir tahun 1999, memiliki shio kelinci. Sedangkan yang lahir tahun 2000 shionya naga, dan tahun 2001 nanti adalah shio ular. Dengan menafsirkan setiap karakter binatang diidentifikasi terhadap anak yang akan lahir, maka anak yang lahir pada tahun kelinci, misalnya dipercaya mempunyai sifat yang khas mirip karakter kelinci. disamping itu umumnya shio juga digunakan untuk mengetahui umur orang dengan alasan kurang enak bila menanyakan langsung pada seseorang dalam suatu obrolan.
Sebagai contoh, bila ada seseorang ditanyai shionya apa? Ia menjawab dengan singkat, shio monyet. Maka, kita bisa mengetahui umurnya. Karena dilihat dari raut mukanya ketahuan ia berumur 80, 68, 56, atau 44, bisa juga 32, atau 20, bahkan 8 tahun.
Shio juga dianggap berpengaruh terhadap fengshui, dan juga masalah ciong (tidak cocok/sial, red). Fengshui adalah kepercayaan adanya pengaruh antara letak rumah dengan tata ruang dihadapkan dengan arah, struktur, dan kondisi alam lingkungannya. Contohnya shio macan dengan shio kambing dianggap ciong. Sebaliknya pemilik shio kambing menikahi orang shio macan nyatanya akan berbahagia. Tapi tetap secara logika diyakikan bahwa jodoh adalah Tuhan yang menentukan.
Begitu pula dengan pentingnya nama. Sebagaimana diungkapkan oleh Drs. Eddy Sadeli, SH kepada JPNN di ruang kerjanya, bilangan Kota, Jakarta Utara, baru-baru ini. Fungsi nama bagi warga Tionghoa, imbuh pemerhati budaya Tionghoa ini sebenarnya sama dengan apa yang ditulis oleh William Shakespeares tadi. Begitu pula terhadap masyarakat yang ada di Indonesia. “Nama itu kan untuk menyatakan, identitas diri, marga, dan harapan,” ujar warga keturunan yang bergabung dalam kepengurusan Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI).
“Bila mengetahui nama seseorang ada kemungkinan bisa untuk mengetahui identitas diri dari penyandang nama tersebut, tentu biasanya menyangkut ras atau etnis, agama, dan latar belakang sosial,” ujar Eddy sambil mengambil contoh Ibu Maemunah Engelina Lim. Berarti nama ini beragama Islam keturunan Tionghoa yang berpendidikan Barat. Kalau FX Tan Tong Beng, asosiasinya adalah nama orang beragama Khatolik, asalnya dari Hokian dan mempunyai latar belakang pendidikan Tionghoa.
Marga bagi warga Tionghoa, kata Eddy mempunyai 300-an marga yang umum. Dan sifatnya subetnis daerah asal. Maksudnya orang Hokian ada yang bermarga Lim. Demikian juga orang Khong Hu ada yang bermarga Lim. Satu marga belum tentu satu keturunan. Walaupun perkawinan dengan marga yang sama masih dianggap hal yang janggal.
Marga dalam warga Tionghoa umumnya terdiri dari satu huruf dalam tulisan Tionghoa (bukan tulisan Indonesia), seperti Tan, Yo, Lim, tapi juga ada dua huruf Tionghoa Se, misalnya, Ma, Auw, Yong, Song, Kwan, dan lain-lain. Marga biasanya ditempatkan di depan nama bagi yang menggunakan tiga kata. Tan Tong Beng misalnya berarti marga Tan. Bisa ditempatkan di belakang nama bila menggunakan huruf latin. Contoh Steve Lim, Himawan Yo, dan seterusnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar